PAGI belum merekah saat pintu rumah terketuk. Mula-mula ibu bangun, diikuti ayah. Lalu terbitlah suara ibu pertanda keterkejutan. Aku yang masih sedikit ngantuk terpaksa memicingkan mata. Belum lagi mengucek mata, tubuhku terasa berat tertindih.
”Dede, bangun Dede....”
Suara itu aku kenal dengan baik. Itu Dimas, Dimas kakakku.
”Kakaaak...,” seruku sambil memeluk Kak Dimas.
Sepintas ibu menggelengkan kepala melihat tingkah kami berdua. ”Sudah, sudah,” katanya lembut. Ibu bilang Kak Dimas perlu beristirahat sehabis melakukan perjalanan jauh. Aku pun dengan cemberut melepas pelukan. Rasanya masih kurang melepas rindu pada kakakku satu-satunya itu.
Ya, semenjak umur tiga tahun, Kak Dimas tinggal bersama nenek. Sekarang dia berumur sebelas tahun. Lantaran dianggap sudah cukup, Kak Dimas ”dikembalikan” pada keluarga sebenarnya. Kak Dimas diantar oleh salah satu pamanku, yang pada malam harinya langsung kembali ke kampung.
Kak Dimas ganteng benar. Kulitnya hitam sebab suka bermain di sawah. Gupak. Bergelut dengan lumpur. Aku pun membayangkan dia seperti Bolang, bocah petualang.
Jadi, hari-hariku bakal tambah semarak. Ada kakak, berarti bertambah juga teman bermain.
* * *
Namun, bayanganku mengenai kakak yang baik perlahan sirna. Kak Dimas tak sepenuhnya seperti yang kukenal saat hanya bertemu waktu libur Lebaran. Dia cenderung egois. Dia juga sering mengancam ini-itu kalau keinginannya tidak terpenuhi. Bahkan tak hanya padaku, adiknya, kepada ayah-ibu Kak Dimas juga berani melawan. Jika dia lapar dan belum ada makanan tersaji, Kak Dimas bisa ngamuk. Membuang segala macam agar ibu cepat-cepat memasak.
Yang paling membuat kecewa, Kak Dimas suka sekali menyembunyikan sandal atau sepatuku.
Aku sudah mengidam-idamkan sepatu crocs, sampai harus merengek-rengek pada Bibi supaya dibelikan. Bibi yang menyayangiku itu tak kuasa menolak, dan saat gajian Bibi langsung memberi hadiah sepatu itu. Namun beberapa hari kemudian, sepatu crocs idamanku itu tinggal sebiji. Aku pun menangis meraung-raung.
Pelakunya siapa lagi kalau bukan Kak Dimas.
Ibu, Bibi dan ayah beramai-ramai menyidang Kak Dimas.
”Di mana sepatu adikmu itu?” kata ibu. Kak Dimas diam saja.
”Nduk, itu sepatu mahal yang Bibi beli kemarin. Kamu kemanakan sepatunya?” timpal Bibi. Wajah Kak Dimas kian mengerut.
”Lupa,” katanya singkat.
”Apanya yang lupa? Kamu lupa menaruh sepatunya? Ayo cepat tunjukkan!?” dengan suara tinggi ayah memaksa Kak Dimas buka suara lagi. Tapi bukannya menjawab, sorot mata Kak Dimas balas menatap wajah ayah, seperti mau menantang.
Aku ketahui kemudian, Kak Dimas memang benar-benar lupa. Dari beberapa teman, kuketahui Kak Dimas suka melempar-lempar sandal atau sepatu dengan kakinya. Lama-lama salah satu sandal itu terlempar beneran hingga tersangkut atap rumah yang sulit dijangkau lagi.
Kenakalan Kak Dimas tak berhenti. Dia suka sekali ikan. Kebetulan, tetangga memiliki kolam hias berisi ikan warna-warni. Aku sudah sering melihat-lihat kolam itu bersama kawan-kawan lainnya. Namun bagi Kak Dimas tak cukup hanya melihatnya. Dia nekat nyemplung mengejar ikan-ikan itu. Kolam jadi riuh dan butek. Beberapa ikan jadi mabuk.
Saat tetangga mengonangi kami, kami pun lari lintang pukang. Aku ketakutan betul saat si tetangga berteriak bakal memanggil polisi. Aku sudah membayangkan Kak Dimas akan dipenjara.
Syukurlah hal itu tidak terjadi. Itu hanya gertakan, tapi sudah cukup membuat Kak Dimas kapok.
* * *
Oh ya, Kak Dimas baru kelas tiga meski harusnya sudah kelas lima atau enam. Dia juga belum bisa baca dengan lancar, kalah oleh aku yang sudah duduk di kelas dua (kami berbeda usia lima tahun!).
Kata ayahku, Kak Dimas kesulitan membaca. Dia sebenarnya normal, tidak bodoh maksudku. Namun entah kenapa, Kak Dimas sulit membedakan kanan dan kiri. Akibatnya, dia suka menukar-nukar huruf saat menulis.
Aku masih terlalu kecil buat memahami maksud ayah. Tapi yang pasti, biarpun Kak Dimas nakal, aku akan tetap membantunya. Bagaimanapun dia adalah kakakku yang kusayangi.
0 komentar:
Post a Comment