Thursday, August 31, 2017

Rencanakan Segalanya Kecuali Mati

Rencanakan Segalanya Kecuali Mati
RENCANAKAN SEGALANYA KECUALI MATI
-T.I. Thamrin-


Bergandeng tangan kami berjalan, jari jemari saling mengunci. Di ujung jalan itu, ujung jalan yang terjun ke laut, kami berhenti. Kami memandangnya, ujung jalan itu, seperti memandang nasib kami sendiri yang putus.

“Mengapa kau bawa aku kemari, Azhar?”

Setatapan kami berpandangan dan ketika mata kami bersabung, tangannya mengerat di genggamanku. Wajahnya pucat dan kaku, tapi kuketahui benar ia sedang bertarung dengan hatinya sendiri.

“Tak ada maksudku membawamu kemari. Kita bertemu di tempat yang kita janjika, tanpa bertukar kata sepatah pun, kemudian kita berjalan asal berjalan. Tak sengaja kaki kita melangkah sendiri kemari. Tapi, bukankah di sini kita memulainya, Agia?”

Azizah tersenyum pada dirinya sendiri. Dengan memelas dipandangnya hampir segala sesuatu yang menyimpan kenangan-kenangan percintaan kami. Laut dengan ombak dan riaknya, nyiur pantaidan cemara, batu, pasir, kerang-kerang…

Ada nada sinis dalam kata-katayang kemudian ia ucapkan.

“Waktu! Alangkah penuh rahasia. Tak terduka, penuh pendadakan! Siapa menyangka aku hari ini akan menangis, padahal kemarin masih tersenyum? Kemarin aku ingin hidup seratus tahun – Sekarang? Benar-benar aku ingin mati pada detik ini juga.

Aku terbalik dan dengan itu matanya kutatap. Kemudian dengan membujuk aku berkata.

“Jangan berkata tentang kematian, Agia. Hidup ini tak sengaja, tak dapat direncanakan. Mengapa pula kita harus merencanakan kematian kita? Rencanakan segala-galanya, Agia, kecuali mati.”

Azizah tersenyum sedikit, hampir-hampir tak menggerakkan bibirnya.

“Rencanakan segala-galanya kecuali mati. Bagus benar kalimat itu. Namun bagiku, lebih baik bunuh diri dari pada dibunuh orang lain.”

Ada ombak besar menyambar ujung pantolanku. Namun bukan karena itu aku terperanjat – kalimat Azizah yang terakhir itulah.

“Kalimatmu itu juga indah, Agia, indah sebagai kalimat. Tapi pengertiannya membangkitkan bulu romaku. Orang mudah menuduhmu egoistis!

Azizah menatapku heran. Katanya, “aku anak ayahku, Azhar, kenapa tidak?”

Aku cukup mengerti maksudnya, tapi kupandang juga ia dengan heran.

“Apakah ayahku tidak egoistis, Azhar? Apa yang ia pertahankan selain egoisme? Ia terlalu bangga dengan dirinya. Apa yang ia banggakan?”

“Ia pantas bangga. Ia Teuku.”

“Apa kau bukan?”

“Tapi aku lahir dari perutseorang perempuan Melayu, seperti katanya. Dan terlebih-lebih ia pahlawan pada zamannya.”

“Pahlawan?”

“Apakah bukan, Agia? Usia lima belas tahun ia sudah bertempur di sisi ayahnya, kakek kita. Dua puluh tiga Belanda dibunuhnya. Kalau tidak Jepang datang…”

“pahlawan pada zamannya. Tepat katamu. Tapi mengapa ia masih ingin menjagoi zaman sekarang? Ini bukan zamannya lagi!”

“Ia sama sekali tak bermaksud demikian. Pada saat sekarang ia hanya ingin jadi jagoan dalam kenang-kenangan masa lalunya.”

Ia meledak tertawa. Setengah berteriak ia berkata, “Tindak menghalang-halangi perkawinan kita, apakah bukan kehendak menjagoi masa kini, Azhar?”

“Ia berhak sepenuhnya, kau anaknya, aku kemenakannya.”

Azizah membalik, menatapku seperti hendak menembusi apa yang ada di balik benakku.

“Azhar!’, serunya tertahan-tahan, “mengapa kau begini? Kau telah mengkhianati dirimu sendiri! Kau…”

“Aku mencoba memahami dirinya, Agia. Aku mencoba menjadi dirinya dengan segala keangkuhan dan segala kebanggan masa lalunya.”

“Kemudian mencoba memahami sikapnya?” timpanya mengejek.

“Tepat, Agia!”

Tertawa ia, Agia itu, anak pamanku, mengiris penuh sinisme.

“Tapi pamanku tidak pernah mencoba memahami kita seperti kau berusaha memahami dirinya! Itu tidak adil!!”

Suaranya seperti hendak menangis, tangis amarah. “Azhar,” katanya gemes, genggamannya mengerat, “kau sudah mengkhianati dirimu. Kau khianati cinta kita! Oh,…”

Pegangannya tiba-tiba mengendur, dan dalam sekali sentak pegangan itu lepas. Ia terjun ketepian berlari menyusur pantai ke arah matahari yang sedang tenggelam. Bayangannya yang panjang sekali-sekali dipermainkan ombak yang pecah di pantai.

“Agia!,” teriakku, melompat mengejarnya.

Ia berlari berliku-liku antara gundukan pohon-pohon panda. Sebentar hilang antara lembah-lembah bukit pasir, kemudian muncul pula di puncaknya.

Sekarang ia mendaki sebuah bukit karang. Tiba-tiba sebelah kakinya tergelincir, keseimbangannya hilang, dan ia jatuh terguling ke bawah. Aku mempercepat lariku, tapi ketika aku sampai ia sudah tegak pula di atas kakinya. Cepat kutangkap kedua lengannya ketika ia hendak melanjutkan perlariannya. Ia meronta bagai gi;a.

“Lepaskan!”

“Agia, dengarkan…”

“Pengkhianat! Kau khianati…Oh…”

“Agia! Dengarkan dulu… Belum habis…”

Sambil menggeleng-geleng kepalanya, ia menggila dalam rontaan. Dicobanya menggigit lenganku. Aku membalik, mengepitnya dari belakang.

“Lepaskan aku najis! Kau…pengecut! Pengecut melebihi kutu busuk!”

Mendadak kukendurkan peganganku. Aku pengecut? Aku?

“Aku, Agia? Aku pengecut?

“Ya, kau! Laki-laki pengecut! Banci!!”

Segera aku lepaslan Azizah. Tidak ada makian yang lebih menyinggung perasaanku selain dari pada kata pengecut. Kakekku gugur dalam perang Sabil dan keberaniannya dari dongengan. Ayahku kawin dengan ibuku, si perempuan Melayu, di bawah ancaman dan kutukanseluruh keluarga. Ia membutuhkan keberanian luar biasa ketika adat masih ketat dan belati masih banyak berbicara dari pada mulut.

Dan aku? Aku anak tunggal orang tuaku, dilahir-besarkan di tengah silang sengketa. Aku menjadi tumpuan ejekan. Kalau aku tidak berani dan tabah, aku akan tumbuh menjadi anak kerdil yang tak punya keberanian mencintai Azizah. Agia, kau melukai dan menghindari harga diriku. Justru kau!

Tanpa kusadari aku sudah bergerak meninggalkan Azizah yang termangu sendiri. Kudaki bukit karang yang satu tebingnya curam ketika ia terjun kelaut. Tersinggung, sedih – itulah keadaanku sekarang.

Di atas bukit karang itu kucoba menentramkan hatiku dengan memandang ke laut lepas. Kudengar angin bersiut-siut, berpilin-pilin, kemudian menjauh dan lenyap entah kemana – untuk mekudian datang kembali entah dari mana. Riak gemercik, gelombang bergoyang di antara tenag, tiba-tiba bagai lepas dari kendali, membumbung dan mengempas di atas batu karang – hancur berkeping-keping.

Sekarang, datang lagi, angin itu, bagai meratap. Benarkah itu suara angin, atau suara jinkah? Tidak, itu suara manusia, suara perempuan, suara Azizahkah?

Kubalikkan badanku dan segera kulihat tubuh Azizah yang terguncang menahan tangis. Bagai gundukan pasir diterbangkan angin, rasa tersinggungku pun lenyap seketika. Segera ia kudatangi dan kusapu pundaknya. Ibanya datang dan tubuhnya tambah terguncang, meliuk-liuk bagai nyiur ditayang angin.

“Agia,” aku mencoba membujuk.

“Cut Azizah itulah namamu. Ada kau dengar? Kau anak ayahmu, mengapa begitu cengeng?”

Aku mengangkatnya. Kubiarkan ia tegak di atas kakinya, walaupun ia mencoba menggandul

“Jangan kau biarkan kebanggaan dirimu hancur, Cut Azizah. Kembalilah kepada dirimu, kepada keberanian dan harga dirimu.”

Aku memandangnya langsung ke dalam matanya. Tersenyum malu-malu, ia menyeka air matanya. 

“Untuk punya keberanian dan harga diri, seseorang harus punya tempattegak, suatu kepercayaan, suatu keyakinan. Kaulah, Azhar, keyakinan dan kepercayaanku selama ini. Karena kaulah aku selama ini berani. Tapi sekarang kau hendak meninggalkan aku – kukira. Tinggalah aku sendiri…”

Aku tergelak. Ujarku, “Kau sendirian? Kau? Mana mungkin aku meninggalkanmu. Bagiku mundur sudah pasti hancur, tapi kalau maju belum tentu. Kecuali kalau kau…”

Perkataanku putus ketika ia memandangku langsung ke dalam mataku. Senyum berkaca di matanya. Dipegangnya tanganku, diciumnya.

“Jangan membantah, Azhar. Kau tadi tersinggung.”

Ada jarak waktu ketika aku menjawab, “untuk berkata benar, ya!”

Aku ragu, apakah perlu penjelasan? Lalu, makilah aku, Agia, sekotor-kotornya makian. Pengkhianat? Sebutlah ia dengan segala padanannya, aku masih bisa tersenyum. Untuk menjadi penkhianat masih dibutuhkan keberanian. Tapi pengecut? Lebih nista dari barang apapun yang tak berguna.

“Aku dilahirkan karena keberanian orang tuaku. Tanpa keberanian mereka, aku tidak akan pernah lahir seperti yang kau lihat sekarang, seperti yang kau cintai sekarang.

Azizah menunduk, kuangkat dagunya. Kataku, “Pandanglah aku, Agia, bertampang pengecutkah aku? Seorang pengecut tidak akan berani memandangmu, jangankan mencintaimu. Siapa kau? Kau puturi uleebalang* yang kelewat angkuh, puteri pahlawan yang terlewat bangga akan dirinya. Risiko mencintaimu, Agia, risiko darah. Mengerikan engkau?’

Angin-angin menyerang diriku, namun bukan karena itu tubuhku menggigil – ada yang datang dari diriku sendiri.

“Maafkan aku, Azhar” kata Agia. “Aku panik tadi, hingga salah pengertian.”

Suara itu datang seperti embun menitis pada daun yang kegerahan

“Tiada maaf di antara dua orang saling mencintai. Yang harus ada pengertian, sedalam-dalamnya pengertian.”

Aku merasa lega seperti beban berat telah dipunggah dari pundakku.

“Pengertian-pengertian itu kah yang hendak kau cari dari ayahku?”

“Sedapat-dapatnya demikian. Kalau kita dapat memenangkan sesuatu dengan pengertian, mengapa pula harus dengan belati?”

Kutatap Azizah untuk mendapatkan kekuatan dan menduga kekuatannya sendiri untuk menerima pernyataanku ini. Lalu aku menandaskan, “Untuk itu, barangkali sekali-kali perlu benturan!”

Tanpa kami sadari hari sudah menjadi malam. Laut yang hitam dibintangi pelita perahu-perahu nelayan, sebentar seperti ditelan kelam, kemudian muncul lagi dari ketiadaan. Langit tanpa bulan – kalaupun ada cahaya, itu kerlipnya bintang-bintang.

“Azhar,” tiba-tiba suara Azizah cemas, “hari telah malam, Orang tuaku pasti cemas dan curiga. Apa kata mereka?” Aku sendiri cemas, cemas, cemas itu kucoba kukendalikan.

“Tenang, Agia. Coba kita cari pemecahan. Kau akan kuantar ke orangtuamu dan aku akan mempertanggungjawabkannya.”

“Entahlah. Itulah yang sedang aku pikirkan.”

Diam. Lama kami diam dalam pikiran masing-masing. Sekadar untuk hanya tinggal diam, kuseret Azizah mendaki bukit karang. Rambut Azizah yang panjang sampai ke pinggang ditayang ke sana kemari. Ia merapatkan dirinya mencari panas tubuhku. Kulilitkan lenganku ke pinggangnya dan dalam keadaan demikian kami menatap laut dengan khayal jauh melampaui horison.

Tiba-tiba terdengar langkah mendekat dan cepat kami membalik sambil merenggangkan jarak. Seorang yang perkasa telah berdiri di hadapan kami. Aku terbelalak. Azizah menutup mukannya.

“Ayah! Oh…” Azizah tergagap-gagap.

“Kalian!”, orang tua itu menunjuk langsung ke mata kami. Telunjuknya menggelegar karena marah.

“Kalian anak haram jadah! Kalian percikkan kotoran babi ke muka kami. Anak haram jadah!”

Ia memandangku langsung sekarang, tumpuan segala segala kesalahan. Matanya yang bulat sperti hendak menelanku mentah-mentah.

“Kau! Pembawa najis, kau zinai anakku!”

“Paman, hati-hatilah dengan kata-kata. Kata-katamu yang telah menodai anakmu, bukan perbuatanku!”

“Dajal! Kau, anak perempuan Melayu!”

“Ayah…!” seru Azizah.

“daj-jal!”

Paman dengan sigap menyerangku. Pendadakannya mengagumkan. Azizah memekik. Entah dimana ia menyelipkan rencongnya, tapi tiba-tiba rencong itu sudah di tangannya saja. Aku bukan tandingan paman, rencong itu sudah masuk ke perutku. Aku rubuh.

“Ayah! Kau bunuh kemenakanmu sendiri… Kejam, kejam…,” lolong Azizah.

Paman mencabut rencong daroi perutku, darah menetes dari ujungnya. Azizah hendak menubrukku. Tapi ayahnya menghardik

“Berdiri di tempatku, Agia! Kaupun akan mendapatkan bagianmu.” 

Paman mendekat dan Azizah benar-benar berdiri di tempatnya. Lengan orang tua yang berbulu tebal itu menggigil, alisnya yang tebal bersambung di pangkal hidungnya. Sorot matanya dan bentuk bibirnya menunjukkan kekerasan hatinya. Laku-laki pada zamannya, pamanku itu. Paman semakin mendekat, rencong telanjang merah di tangannya.

“Kuabayari kau memperalat diri dengan ilmu barat, Agia, karena kutahu zaman telah berubah. Dulu kami berperang dengan kelawang, tapi orang kini menghancurkan sebuah negeri dengan menekan tombol. Tapui bagaimanapun majunya seseorang dengan ilmunya, satu hal yang orang tidak boleh lupa bahwa seseorang itu lahir karena orangtuanya. Tapi kau! Kau kelewat pintar, hingga aku, ayahmu, kau lawan. Tapi sebagai orang Aceh, aku tahu benar bagaimana memperlakukan pengkhianat, walau ia anaknya sendiri.

Azizah mengangkat kepalanya dan dengan berani ditantangnya mata ayahnya. Cetusnya, “Aku sependapat denganmu ayah dalam segala-galanya, kecuali dalam satu hal. Ayah terlalu angkuh, terlalu rakus dengan harga diri, hingga dengan anak dan kemenakan sendiri enggan berbagi…”

Belum habis kata-kata itu, paman sudah melompati Azizah. Tapi Azizah benar-benar anak ayahnya. Ia cepat mengelak dengan lompatan dua-tiga tindak ke samping. Sekarang ia berdiri tiga-empat meter dari tempat ayahnya tegak.

“Ayah tidak akan dapatkan aku,” katanya, “Aku bangga dengan dirimu ayah, tapi juga dengan diriku sendiri.”

Paman mengunyah giginya. Geram memancar dari wajahnya, terutama matanya itu. “menyerahlah, Agia. Matilah di tangan ayahmu sendiri. Aku akan menusuk langsung di janntungmu, mati yang seketika tidak akan membekaskan sakit.”

Azizah mengerling laut di sampingnya, matanya berkaca-kaca oleh senyum kemenangan. “Nyawaku adalah harga diriku. Dia tidak akan kuserahkan pada orang lain, walau ia ayahku sendiri.”

Paman pucat. Ia menyadari benarapa yang akan dilakukan oleh anaknya. Dia menggeletar seperti dahan kering dipukul angin. Dia memandangku mengharapkan pertolongan, tapi siapabisa mencegah tekad yang sudah membulat? Dan aku sendiri lumpuh.

Agia, tunggu!”, teriak bagai hendak terbang. Tapi secepat itu pula Azizah melemparkan dirinya, menggelinding sebentar melalui tebing bukit, kemudian segera dihela ombak dan digulungnya sekali.

Mata paman terbelalak dengan mulut yang merongga. Ketika tubuh Azizah muncul sebentar dipermukaan dipermainkan ombak, paman berteriak.

“tolong dia!”, dan paman pun terjun. Kulihat ia mencoba berenang. Tapi ombak terlalu gila untuk orang setua dia – betapa pun perkasanya ia pada masa mudanya. Ia dihempaskan kesana-kemari, dilambung dan ditenggelamkan, namun masih tetap berusaha berenang. Beberapa kali ia menelan air laut, lalu tenggelam, lama tidak timbul. Sekali ia muncul di puncak ombak, dogoyang sebentar, kemudian lenyap dan tidak muncul lagi.

Mataku berkunang-kunang oleh darah yang terlalu banyak keluar, dan oleh dua adegan yang baru berlalu di depan mataku. Ingin aku menangis, meolong, bahkan terjun bersama mereka di laut. Tapi aku sudah terlalu  lemah.

“Rencanakan segala-galanya kecuali mati,” aku mencoba mengulang kata-kataku sendiri. Apakah mereka merencanakannya – kematian itu? Apakah tangan nasib turut campur? Ah, terlalu banyak jawaban yang ingin kudapatkan untuk begitu banyak bertanyaan.

Selubung teramat gelap jatuh menutupi bola mataku. Persetan, apakah ini namanya mati?

1991

Catatan: 

0 komentar:

Post a Comment

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com