Jaraknya mungkin hanya selontaran mortir atau lebih jauh. Maksudku memang tak terlalu jauh, cukup berlari-lari kecil maka seperempat jam kemudian jalan itu telah sampai ujungnya. Dan bagiku itu tak sekedar ujung sebuah jalan, barangkali juga ujung kehidupan.
Tak ada yang istimewa dari Jalan Kepedihan itu, serupa gang biasa dengan kanan-kiri rumah berhimpit. Jalan yang niscaya bisa ditemui di manapun. Hanya saja buatku jalan tersebut terlalu istimewa. Sudut-sudutnya, kelokan kecil, beberapa rumpun yang tumbuh di sisinya, pepohonan, undakan, segalanya menyimpan kenangan. Seakan-akan Jalan Kepedihan itu serupa pegadaian yang menimbun seluruh ingatan tanpa aku bisa menebusnya suatu ketika.
Suatu ketika dalam hidupku, dimana ia belum kunamai Jalan Kepedihan, kaki-kaki yang melangkahinya ada kunanti. Aku sebagai remaja dengan cinta yang mekar di rongga dada. Cinta yang rumit. Yang kerumitannya justru menyajikan aroma asmara yang tak dapat tertolak.
Bayangkanlah kisah Romeo-Juliet! Tanpa permusuhan di antara orang tua mereka, cinta Romeo pada Juliet tak ada apa-apanya. Tak bakal ada cerita mengenainya. Tak pernah jadi legenda. Begitu pula diriku. Kisah cinta ini, yang sebetulnya tak betul-betul kumengerti – yang tak kutahu apakah cinta atau bukan – menghadapi beban, bahkan dosa tak berampun. Sebab dia adalah pamanku sendiri!
Dan jalan yang belum kunamai Jalan Kepedihan itu selalu membawanya ke rumahku. Pada waktu tak tentu. Dan ia datang kapan saja mau. Sebab ibuku adalah kakaknya dan aku keponakannya. Tak ada yang bisa melarang adik yang mengunjungi saudara atau paman bertemu keponakan.
Bagaimana kemudian kami menjadi akrab (bahkan aku mencintainya!) tak terlalu jelas awalnya. Barangkali karena aku memiliki banyak kesempatan bertemu dengannya. Intensi yang menimbulkan ukiran pada hati, seperti tempaan palu godam pada batu bahkan baja. Sekeras-keras baja pada akhirnya lebur juga, sekeras-kerasnya hati luluh juga.
Lagipula aku hanyalah gadis remaja, yang hijau, yang sedikit merasai asin garam dan masam buah asem. Tak banyak hal kukenal sebagai anak ayam di seputar langkah induknya. Kehadiran seseorang yang intens dan intim mudah mengaduk-aduk perasaan perawan remaja. Kebaikannya pada saat itu, perhatiannya juga bimbingannya. Tak banyak aku peroleh dari lelaki manapun. Sekian hal yang cukup membuat hati perawan remaja seperti aku jatuh cinta.
Meskipun begitu, aku tetap memelihara kesadaran bahwa dia adalah pamanku sendiri. Mencintainya adalah terlarang. Apa kata dunia! Seorang keponakan mencintai pamannya sendiri!....
Masalahnya aku pun perempuan pada umumnya. Tak ada yang dapat menolak takdir ini padaku. Dan bahwa Tuhan memberi banyak hal menarik dari tubuhku pada mata laki-laki (sekalipun dia seorang paman), tak ada yang bisa mengelak.
Dan mata pamanku adalah mata laki-laki. Kedua kelopak itu bagaikan radar yang menangkap sinyal pancaran gelombang dari tubuh, sikap dan perilakuku. Tanpa memerlukan waktu lama bagi jiwa laki-lakinya memindai kelemahanku. Dengan segenap bujuk rayu, hanya persoalan waktu baginya buat menaklukanku.
Takluk? Ah, itu kata yang buruk. Ini bukan soalan mengenai pertandingan atau lomba. Ada sistem operasi yang tak kupahami (yang mungkin semata-mata karena kemudaanku), dan lalu segalanya pun terjadi.
Aku hanya kurang tahu bagaimana kelindan beragam soal ini jadi satu, yang mengarah pada diriku halnya. Mengarahkanku sebagai korban.
Apakah aku bersalah karena mencintai paman sendiri? Membiarkan dirinya menjamah tubuhku? Lalu bagaimana dengan kecamuk perasaan berdosa dalam benakku, tidakkah itu memiliki makna, biar sejimpit?
Atau, ya, bukankah kesalahan sesungguhnya justru berada di pihak pamanku? Dia jauh lebih dewasa dan mengerti baik dan buruk. Semestinya dia tak membiarkan gadis sehijau aku berada dalam pusaran dosa bebareng. Semestinya dia tak memanipulasi perasaan perawan remaja yang mudah mekar, yang tak menyadari terjebak dalam cinta yang rumit.
Atau begitukah makhluk bernama laki-laki? Kedewasaan tak mengurangi nafsu purba pada dirinya. Bertambah usia bukan mengarah pada kebajikan tapi justru kian dahaga pada nikmat badani. Pengalaman sebagai air laut dimana meminumnya mendorong rasa haus kian berkobar.
Tetapi jika hal-hal semacam ini dimaklumi dan dibenarkan, lelaki tak pernah salah dan perempuan selalu salah.
Hanya saja, tahu apa aku saat itu?….
* * *
DAN sebutan Jalan Kepedihan itu, yang menghubungkan rumahku dengannya, tercetus beberapa lama kemudian. Tak pernah kubayangkan bahwa pada akhirnya, jalan yang selalu kukenang sebab membawakan orang yang kukasihi, lalu pula membawanya pergi tak kembali. Bukan badan wadaknya yang menghilang, melainkan jiwanya yang lenyap terbawa kedegilan hati, spiritnya yang melayang oleh hasrat purba.
Aku menuju rumahnya hendak membawa kabar. Sesuatu telah tumbuh dalam diriku sebagai hasil perbuatan kami. Kukayuh pedal pada sepeda dalam beragam perasaan yang bercampur.
Telah terangkai sejumlah kalimat sebagai anak SD telah menghapal sebuah PR. “Paman terkasih,” aku membayangkan berkata-kata begini, “tinggal waktunya bagi kita memetik buah dari pohon yang ditanam bersama. Paman terkasih, aku mengandung anakmu….”
Aku tersenyum mendapatkan rangkaian kata-kata seperti itu. Ada sejumlah ironi dan mungkin terasa klise. Seperti dialog dalam sinetron atau film. Barangkali kata-kata itu takkan terucap persis. Ada kegugupan, keterburuan dan sedikit rasa malu mengungkapkannya.
Jalan yang pendek terasa semakin pendek saja. Lalu dalam beberapa bentar, sampailah aku pada rumah sedikit menyentuh ujung jalan. Aku gemetar dan mulai ragu-ragu. Tiba-tiba rangkaian kalimat yang tercetak dalam otak tandas. Aku bahkan urung buat mengingatnya.
Kakiku kugerakkan demikian beratnya, seakan mengangkat beban ribuan ton. Ya Tuhan! Apa yang harus kulakukan? Pengakuan ini terasa sulit sekali diungkap dalam ketiba-tibaan. Menyatakannya demikian berbeda dibandingkan kita mengatakan sesuatu yang disembunyikan dan orang tahu kitalah yang melakukannya….
Aku hendak mengetuk pintu, mungkin juga sudah terketuk beberapa kali. Mataku terantuk pada sesuatu. Bergerak-gerak dalam keremangan kaca. Demikian nyata! Tak perlu ucekan mata buat melihatnya supaya lebih jelas.
Dua sosok beda kelamin sedang asyik-masuk berkasihan. Ah, dan lelakinya adalah paman terkasihku….
Kutahu kemudian, perempuan yang bersamanya adalah calon istrinya.
Begitulah riwayat bagaimana Jalan Kepedihan hadir oleh sebutanku. Yang tak panjang jaraknya, hanya selontaran mortir, tetapi seperti merangkum hidupku sedemikian bulat sekepalan tangan.
Jalan itu, yang mulanya begitu kusenangi malahan kubenci kini. Warnanya berubah membentuk jelaga yang bukan hanya mencoreng muka tapi juga meluluri badan dalam warna gelap, segelap-gelapnya.
Sebulan kemudian mereka menikah, ketika perutku terasa semakin bergerak-gerak oleh janin yang berada di dalamnya. Sekelebatan kubayangkan bahwa mempelai perempuan itu adalah diriku sendiri. Tapi segera kusingkap bayangan itu. Bukan saja karena dia adalah pamanku sendiri, tetapi cinta yang kusimpan untuknya tidak pernah ia simpan balik buatku.
Bagiku itu adalah pengkhianatan. Demikian sakit merasakan pengkhianatan. Tapi lebih menyakitkan lagi karena aku tak bisa menyatakannya. Betapa melegakan seandainya aku bisa mengumpat “Dasar Pengkhianat!” padanya. Menyatakannya berarti memposisikan aku berada dalam kebenaran. Tapi dia adalah pamanku sendiri dan menuduhnya pengkhianat melahirkan situasi aneh.
Seandainya boleh memilih, aku takkan sedikitpun menampakkan batang hidung pada perkawinanya. Tetapi hubungan famili itu mengikatku erat-erat. Dan aku tak bisa memakai alasan “orang yang menikah itu sudah menghamiliku!”.
Kutatap mereka dalam pandangan nanar. Detik demi detik perayaan pernikahan. Lalu kuangsurkan mata ke perutku sendiri. Saat itu bahkan kesedihan seakan menjelma menjadi manusia dan manusia itu adalah aku sendiri.
Waktu berlalu. Selalu begitu. Kesedihan mengurung hari-hariku. Tak ada cinta dan kasih sayang. Justru perut kian membesar. Orang yang melihatku mengira bertambah gemuk dan menyindir-nyindir bahwa aku mulai hidup makmur. Jika mendengar keheranan mereka, aku hanya menelan ludah. Mereka tak menyangka aku hamil. Barangkali karena sedari awal badanku memang agak gemuk. Orang bilang montok.
Seandainya waktu bisa dihentikan, aku ingin waktu berhenti dulu entah sampai kapan. Barangkali sampai siap mengungkapkan apa yang kualami kini: kehinaan berlipat-lipat, penderitaan berganda-ganda. Tapi waktu tak pernah diam biarpun seluruh penduduk di muka bumi menginginkannya.
Aku menyadari terlalu banyak kehebohan seandainya kukatakan pengakuan kehamilanku sampai si bayi sendiri keluar. Maka pada orang tua, aku pun mengaku….
Ibu meraung, ayah tercekat. Lalu aku pun meraung. Meraung dalam raungan terkeras yang pernah kuteriakan. Mungkin karena itu adalah raungan yang menggenapi seluruh kepedihanku selama ini. Kepedihan yang tak bisa diungkapkan sebelumnya.
“Siapa yang melakukannya, Nduk?” Ibu bertanya, juga bapak dalam sorot mata kemarahannya.
Ah, ibu, ah, bapak! Kenapa kalian bertanya hal itu pertama-tama? Aku tahu ada rasa penasaran teramat besar juga kemarahan luar biasa pada kalian. Tapi pertanyan seperti itu pertama-tama sungguh menyakitkan. Aku membutuhkan pelukan dan dukungan, meskipun keadaanku kini adalah buah dari masa laluku.
Pertanyaan itu menjadi koor. Beberapa kerabat dekat yang ingin tahu mengulangi dalam berbagai variasi: Siapa bapaknya? Siapa yang membuatmu begini? Siapa yang menghamilimu?
Dan aku bungkam. Bungkam dalam tangis yang panjang.
RENCANAKAN SEGALANYA KECUALI MATI
0 komentar:
Post a Comment