Saturday, July 29, 2017

Pengertian Dan Tujuan Seni Rupa

Pengertian Dan Tujuan Seni Rupa
Alat-alat yang kita pergunakan sehari-hari dewasa ini banyak atau sedikit dipengaruhi oleh macam-macam pengejawantahan seni. Apabila menengok alat-alat yang dipergunakan oleh orang-orang dari jaman dahulu kala (primitif), juga dipengaruhi oleh segala macam pengejawantahan seni. Kehidupan mereka juga diperkaya dengan sentuhan-sentuhan seni, meskipun mereka tidak menyadari adanya hubungan ini. Artinya mereka secara tidak sadar masyarakat manusia yakni membantu menyediakan dan membentuk latar belakang hekekat kehidupan.
Menurut Upjohn,wingert dan Mahler (1949) tujuan seni rupa dikatakn sebagai berikut:
“Seni ialah jawaban terhadap tuntutan dasar kemanusiaan. Tujuan utamanya ialah menambahi interpretasi dan melengkapi kehidupan. Adakalanya pada suatu waktu, seni itu dijadikan pembantu untuk tujuan lainnya, seperti pengagungan agama, propaganda, symbolisme dan sebagainya, tetapi dalam analisis terakhir tujuan ini jauh atau tidak bertentangan dengan tujuan utamanya.”

Baca Juga:
Macam-Macam Gaya, Corak Dan Isme Seni Rupa
Mengenal Konsepsi Ilmu Budaya Dasar Dalam Seni Rupa

Berdasarkan pendapat di atas, sepanjang perjalalan sejarah seni rupa ia mengemban misi sesuai dengan kehendak jaman dan pendukungnya. Ia ada kalanya mengandung ekspresi tentang pelajaran budi pekerti, seperti karya-karya (lukisan-lukisan) yang mengambil kisah dari Tantri Kamandaka; ada kalanya bersifat allegory, seperti lukisan Rubens (pelukis terkenal dari Belgia) yang berjudul “Henry IV Recciving The Protrait of Maric de’medice….Dalam lukisan itu kita melihat raja sedang melihat potret Mariede, Medici yang dipegang oleh dewa perkawinan (Hymen) dengan lenrannya berupa awan. Di belakang raja yang berpakaian perang itu berdiri Bellona dewi perang yang bertopi helm bersama-sama raja sedang melihat potret itu. Lukisan itu dimaksudkan memeriahkan pernikahan Mariede’ Medici dan Henry IV.” Lukisan yang bersifat allerogi banyak terdapat di Bali. Sebagai satu contoh, lukisan yang berjudul Arjuna Wiwaha (anaonim, kin disimpan di museum Bali Denpasar). Lukisan ini melukiskan adegan Arjuna menasehati Dewi Supraba agar menerima  lamaran raksasa Niwatakawaca untuk memata-matai kelemahan raksasa itu, karena raksasa itu akan menghancurkan sorga.

Adakalanya karya seni rupa itu berupa ilustrasi dari cerita yang bersumber dari agama, seperti relier yang dipahat pada dinding-dinding candi borobudur ataupun Prambanan dan sebagainya. Ada karya seni yang bersifat symbolis, seperti patung-patung Budha Dan Mudrya dan sebagainya. Adakalanya karya seni itu mengambarkan kebiadaban sesuatu exotic; sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan; sesuatu fantasi dan lain sebagainya. Semboyan “Seni untuk Seni” menempatkan kehadiran seni itu bukan untuk tujuan lain dari pada seni itu sendiri. Seni semata-mata untuk seni. Semboyan ini adalah teori seni Perancis yang dilancarkan oleh Victor Cousin dan dikembangkan oleh Fluber dan Th. Gantier pada abad 19. Kehadiran semboyan itu bermaksud agar seni itu tidak dipergunakan untuk mempertahankan atau menentang nilai-nilai susila, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang sama sekali tidak berhubungan dengan seni. (Encylopedia).

Kenikmatan dan pesona “seni untuk seni” tidak terletak pada kisah yang di bawanya atau kemiripannya dengan bentuk sesuatu atau sejenisnya di luar untuk seni, tetapi pesona seni lahir karena memang karya itu terdiri dari unsur-unsur seni yang mempesona. Memang tidak mudah kita  mencari contoh untuk mewakili jenis karya seni rupa semacam ini yang murni, walaupun banyak karya-karya seni rupa yang hadir dan meminta untuk dinikmati melulu dari kehadiran warnanya, garis-garisnya, susunan bidangnya, teksturnya, seperti karya Henry Matisse, Piet Mondrian Kandinsky dan sebagainya. Tetapi karya-karya mereka itu membawa pesan melalui garis warna, bidang dan tekstur yang dihadirkannya itu.

Memang seni untuk seni tidak banyak mendapat tempat di hati kaum awam. Bangsa Mesir kuno mengaggap kesenian tidak sebagai pengejaran dan cara menghasilkan benda-benda yang hanya mempunyai keindahan yang ideal saja. Semua hasil kesenian Mesir kuno harus dapat dipergunakan untuk tujuan yang praktis. Sebagai contoh dapat dikemukakan lukisan-lukisan, relief-relief dan patung-patung yang dibuat secara indah sekali, tetapi yang untuk selama-lamanya ditempatkan dalam kuburan-kuburan sehingga tidak mungkin orang dapat mengaguminya atau menikmatinya. Di situ benda-benda kesenian tersebut mempunyai fungsi-fungsi tertentu.

Adegan-adegan yang dilukiskan pada dinding-dinding kuburannya bukannya kejadian-kejadian di dunia ini, melainkan peristiwa di alam baka yang ingin dialami oleh orang Mesir setelah mereka meninggal. Hanya dalam menggambarkan adegan-adegan tersebut  dipergunakan unsur-unsur dari alam yang fana. Karena itu ada kalanya lukisan-lukisan atau relief-relief dalam menggambarkan adegan-adegan itu disebut “wishful painting” dan tidak mengherankan kalau kesenian Mesir kuno itu dipandang sebagai “kesenian dunia akhirat” atau “kesenian alam baka”. Kesenian Mesir kuno mengabdi pada kepercayaan. Oleh karena itu semboyan ‘1 art pour 1 art’ adalah asing bagi bangsa Mesir kuno yang memiliki sifat-sifat yang praktis itu.

Demikian juga kehidupan seni rupa di Indonesia kuno tidak mengenal semboyan seni untuk seni. Peninggalan-peninggalan karya seni rupa seperti patung-patung, relief-relief, wayang kulit, beraneka ragam motif-motif hiasan batik dan karya-karya seni rupa lainnya yang terbesar di seluruh wilayah Republik Indonesia, kehadirannya memiliki tujuan tertentu yang bersifat praktis serta mengandung nilai symbolis.

Pada tahun-tahun terakhir ini yaitu sejak awal abad ke-20, kehadiran seni adalah ekspresi. Mereka hadir sebagai wadah kehidupan jiwa yang meluap-luap yang ingin dikeluarkan berupa karya seni. Karya seni semacam ini tidak oleh obyek-obyek tertentu ataupun corak dan gaya tertentu, melainkan oleh sikap batin senimannya, ia tidak mengenal batas-batas daerah yang mempunyai tradisi-tradisi setempat. Ia ada kalanya disebut seni modern. Ia tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Ia sanggup menerima segala macam bentuk seni dengan hampir tiada bersyarat. Batasan-batasan yang dahulu ada seperti ikatan tradisi (“spirit of the race” atau ”spirit of the age”), demikian juga ketentuan-ketentuan isi ataupun tema disisihkan semuanya.

Satu syarat yang masih dituntut oleh seni modern yang bahkan merupakan ciri khasnya, ialah kreativitas. Dari sebuah perkataan tercantumlah beberapa sifat yang merupakan gejala-gejalanya. Oleh karena itu untuk menghindarkan istilah modern yang bermuka banyak itu tadi, ada yang menami seni modern itu dengan “seni kreatif” (Soedarso S.P.,19971, hal. 2). Contoh karya-karya seni rupa modern adalah karya-karya seniman: Paul Cezane, Paul Gauguin, Vincent Van Gogh, Pablo Picasso, Naum Gabo, Antoine Pevsner, Ozenfant, Marinetti, Mari Utrillo, Max Chagal, Henry Moor, Kandinsky dan sebagainya. Di Indonesia kita mengenal seniman pelukis dan pemahat modern antara lain: Affandi, Popo Iskandar, Zaini, G. Sidharta, Ktut, Cokol, Ida Bagus Nyana dan sederatan seniman muda lainnya, baik dari angkatan Persagi, Pita Maha dan kelompok atau periode lainnya.

Karya-karya mereka (sebagian) dipajang di beberapa tempat seperti: Balai Seni Rupa Pusat di Jakarta, Museum Affendi di Yogyakarta, Museum Bali di Denpasar, Museum Seteja Neka di Ubud (Bali) dan di beberapa tempat kolektor lainnya.

0 komentar:

Post a Comment

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com