Thursday, August 31, 2017

Meutia Sudah Berhenti Bertanya

Meutia Sudah Berhenti Bertanya
Meutia Sudah Berhenti Bertanya

T.I. Thamrin


MEUTIA berusia lima tahun. Bijaknya bukan main. Dia cepat akrab dengan setiap orang yang baru dikenalnya. Dan mulutnya segera saja bercerocos: “Oom (atau tante) siapa namanya, di mana tinggalnya, mengapa lengannya berbulu panjang.” Atau: “Mengapa sih bintang lebih banyak dari bulan dan mengapa tidak jatuh-jatuh seperti buah empelam.”

Ayah atau ibunya capek melayaninya dan sering-sering jadi kesal” “Meutia kapan kau henti bertanya?”

Meutia memang henti bertanya – tapi tidak lebih dari sepuluh menit. Setelah itu mulai lagi ia dengan kicauannya. Jika ia sendirian, tentu ia mengambil bonekanyayang dibikinin ibu dari kain-kain perca. “Hei, dakocan, siapa namamu?” Tentu saja boneka itu membisu. “mengapa kau diam, bego? Hei, hei – hei budek,” Meutia menampar-nampar pipinya, “anak siapa kamu? Mengapa kamu tak pernah be’ol?”

Andaikatapun Meutia diam, diamnya diam berpikir. Dalam kediamannya itulah dikumpulkannya seluruh pertanyaan dalam dirinya yang tak terjawab, untuk kemudian diajukan kepada orang yang pertama-tama ditemuinya.

Suatu hari dengan nafas yang tersengal-sengal Meutia menemui ibunya yang sedang merajang bawang di dapur. “Ibu?” katanya.

“Apalagi Meutia?”
“Apa artinya ‘ibu’?”

Ibu itu tersenyum, membelai ubun-ubun anak tunggalnya. Lalu, “Ibulah yang melahirkanmu, sayang.”

Mata Meutia yang hitam bundar itu berputar-putar. “Apa itu ‘melahirkan’? cetusnya.

Sesaat sang ibu ragu. “Mengeluarkan, mm…, mengeluarkan kamu dari perut ibu.”

“Dulu Meutia di dalam perut?!” serunya dengan heran, memandang perut ibunya. “Iddih.”
“Waktu itu kau masih kecil dan lemah sekali. Ibu harus melindungimu, sayang.”

Dahi anak itu mengerut, cuping hidungnya kempas-kempis. Katanya, “Tapi mengapa tidak ayah saja?”

Ibu tertawa. “Ayah harus kemana-mana untuk mencari uang buat kita. Ia pasti akan keberatan jika harus membawamu di dalam perutnya… Meutia, Meutia, tak habis-habisnya yang kau tanyakan…”

Jangankan Meutia, ibu sendiri tak tahu pekerjaan ayah. Kalau Ibu bertanya, ayah menjawab sepatah kata: ngojek. Jawaban itu dan dapur yang tetap berasap sudah cukup bagi perempuan sederhana itu.

Dulu, sang suami pernah menjadi pegawai, kemudian karena rasionalisasi, mencoba melamar ke sana kemari, sia-sia. Satu-satunya yang bisa dilakukan ya ngojek itulah. Hasilnya tidak banyak, tapi untuk mengempani tiga kepala yang hidup sederhana memadailah.

Apa pun pekerjaannya, Meutia bangga akan ayah. Ia merasa ayahnya yang paling gagah di antara semua ayah teman-temannya. Ayahnya yang paling hebat dalam penglihatannya. Hanya ayahnya yang “memiliki” banyak kendaraan. Kadang-kadang ayah naik skuter, lain kali dengan sepeda kumbang, kali lainnya mengendarai sepeda motor. Memang benar lebih banyak ia naik sepeda atau berjalan kaki, tapi sesekali juga naik mobil.

Pada ayahnya Meutia manjanya tak kira-kira. Begitu ayahnya datang ia sudah memburunya atau menantinya di ujung gang. Kalau ayah di rumah tentu ia sedang mengelendor di pangkuannya. Ada saja yang ia kerjakan dengan ayahnya. Menarik-narik hidung atau daun telinga, mengusap-usap bulu dada, mengorek-ngorek pusar, mengelitik-gelitik. Seringkali ia jatuh lelap di pangkuan ayahnya.

Makanya ia sedang ngambek kalau ayah terlambat pulang. “Benci’ deh, benci’! Ngelayap mulu sih…”

Satu waktu, ketika malam sudah larut tapi ayah belum pulang meutia menjadi marah besar. Ngambek. Tapi ayahnya tak mengerti mengapa ibunya menangis.

“Mengapa ibu menangis?” Ajuknya
“Mata ibu kena uap bawang.”
“Tapi kenapa ayah belum juga pulang?”

Ibu itu tak menjawab, malah ia menambah tangisnya. Jadinya Meutia ikut-ikutan menangis, walau ia tak mengerti mengapa ibunya menangis dan mengapa ia ikut-ikutan menangis. Memang ia suka ngambek kalau ayahnya terlambat pulang, tapi kalau sampai menangis tidak pernah.

“Benci’ deh! Kalau lambat pulang, bilang-bilang kek…” ia ngedumel.”

Hari-hari berikutnya hari-hari yang sepi bagi Meutia. Betul teman-temannya banyak dan ia sukai, tapi baginya ayah adalah segala-galanya. Ya, ayahnya, ya temannya, ya kakaknya, ya mainannya. Biar ia tanpa teman-teman, tanpa seluruh tetangga, tanpa es mambo dan mie bakso, asal bersama ayah. Hampir tiap lima menit ia menanyakan ayah. Bahkan kepada setiap yang lewat: “Tante (atau oom), lihat ayah Meutia?” Bahkan kepada boneka dan si Prawan, kucingnya, ia tanyakan. Tengah malam ia terbangun dan segera menanyakan ayah. Ibunyalah yang pertama-tama harus menjawab semua pertanyaan itu, tapi bagaimana menjawabnya?

“Emangnya ayah pergi ke mana, bu? Tuntutnya.
“Ayah pergi cari uang untukmu, yayang.”
“Tapi kenapa tak pulang-pulang. Kemarin-kemarin juga cari uang tapi selalu pulang, bukan?” Ibu terdiam.
“Kalau tak pulang, perginya kemana bu?” desak Meutia
“Pergi…, pergi ke tempat yang duitnya banyakan…”

Muka yang cantik itu cemberut. Rajuknya, “Biar duitnya banyakan, kalau yah nggak pulang-pulang, Meutia benci’ deh, - benci’, benci’… B-E-N-C-I!”

Sepanjang hari Meutia tidak mau makan. Sampai menangis, Ibu sambil membujuk, anak itu tetap membangkang. Nakalnya jadi keterlaluan. Piring nasi yang disodorkan dilemparkannya, membentur dinding dan pecah berantakan. Si prawan menerima bagiannya pula. Setiap kucing itu mencoba berhandai-handai dengan nona ciliknya, pasti kena sasaran. Kena tendang yang datangnya beruntun, timpukan batu atau pukulan gagang sapu, diludahi dan dikentuti. Dan caci-maki jangan kata lagi.

“Habis…, kita benci,” sungutnya.

ESOK paginya Meutia dibangunkan lebih cepat. Biasanya kalau dibangunkan ibunya, Meutia bangkit dengan segera. Tapi sejak ayah tidak di rumah, anak itu suka membangkang.

“Bukankah kau ingin ketemu ayahmu, sayang?”

Dengan cepat Meutia bangkit. “Ayah sudah pulang?” bersemangat dan tiba-tiba wajahnya menjadi cerah. Bola matanya yang hitam kental itu hidup kembali.

“Tidak Meutia, kita akan mengunjunginya.”

Meutia melompati leher ibunya dan membiarkan dirinya digotong ke kamar mandi. Kata-kata mengalir terus dari mulutnya.

“Tapi, di mana tinggal, ibu?”
“Oh…,tinggalnya, ayah tinggal di – di asrama…”
“Di asrama? Ngapain di sana. Ayah tidak tinggal sama kita lagi?”
“…ia sekolah. Suatu hari tentu ia akan kembali kepada kita.”

Mereka bertemu di sebuah kamar yang luas dari sebuah rumah yang teramat luas di mata Meutia. Pintu dan jendelanya besar-besar dan mesti ada jeruji-jeruji besinya, bahkan sampai-sampai ke lubang angin dan lubang got. Sekolah apaan ini, pikir Meutia. Tiba-tiba ia melihat ayah keluar, dan hampir ia berteriak dan memburunya kalau ia tidak melihat ayahnya diiringi seorang berpakaian seragam yang berwajah seram. Ayah tampak kurusan, wajahnya kuyu, matanya sayu. Jarang ibu memeluk ayah di depan Meutia, tapi sekali ini ibu merangkul ayah bukan saja di depan Meutia, tapi juga di depan banyak orang. Ibu menangis dan kelopak mata ayah basah. 

Melihat semua ini Meutia meraung-raung. Ayah segera merangkul Meutia, membenamkannya ke dadanya, dan Meutia memeluk leher ayah, menenggelamkan dirinya dalam-dalam ke relung dada ayahnya. Mereka bertiga bersirangkulan dan bersitangisan.

“Mengapa kau lakukan itu, Irham? Aku tidak menagih apa-apa darimu, bukan?” kata ibu dengan sesal. Kepala ayah terkulai.
“Kenapa kau terima juga barang titipan GAM itu, Irham. Irham, kau tak sayang kepada anakmu dan kepadaku…”

Ayah menarik nafas, nafas itu keluar dari hatinya yang menyesali. “Baru kali ini aku melakukannya, Sofia,” katanya dengan melenguh, “Kusangka bisa lolos dan mengakhiri kemiskinan kita…”

PENJARA itu hanya beberapa meter dari rumah Meutia. Selama ini ia tak pernah ke sana. Tapi kini hampir saban hari Meutia lewat di depannya, jika ibu kebetulan keluar menjajakan kain kepada kenalan-kenalannya. Tapi tak pernah dilihatnya ayahnya. Ingin ia masuk dan menanyakannya. Tapi sejak hari pertama bertemu di penjara, ia merasa ngeri melihat orang-orang berpakaian seragam. Wajah mereka kaku, jarang tersenyum, dan mata mereka sama sekali tidak ramah, sekalipun ketika mereka sedang tersenyum.

Akhirnya ibunya tahu kalau Meutia sering-sering lewat di depan penjara. Ia mau melarangnya, tapi tak sampai hati. Anak itu sudah berubah, pikirnya. Omongannya mulai kurang. Jika seseorang masuk ke halaman rumah, cepat-cepat ia lari ke depan dengan mata berharap. Tapi ternyata yang masuk bukan orang yang diharapkan-harapkannya, sorot matanya menjadi gelap kembali.

Suatu hari Meutia pergi ke penjara lebih pagian dari biasa, ketika ibu sedang tidak di rumah. Sekarang ia tidak saja lewat, tapi juga singgah. Di bawah pohon beringin di depan penjara ia duduk menunggu. Belum lima menit ia menanti, serombongan orang-orang berpakaian cabik-cabik dan kotor keluar melalui pintu gerbang penjara. Di bahu tersandang cangkul seorang satu, sebagiannya gembor penyiram tanaman. Kebanyakan kurus dan pucat, melangkahkan kakinya dengan hati yang berat.

Satu-per satu Meutia meneliti muka-muka yang keluar dari pintu gerbang jeruhi besi. Tiba-tiba hatinya bersorak. Mendadak sontak ia bangkit dan memburu ke sana.

“Ayah, ayah, ayah!!” teriaknya beruntun bagai tak putus-putusnya. Semua orang tercengang, ayah malah terperanjat. Dilihat Meutia beberapa orang berseragam melototinya, tapi ia tak ambil peduli.

“Meutia!”
“Ayah!”

Meutia melompati ayahnya, mereka berpelukan. Ayah menciumnya bertubi-tubi, seakan-akan tak akan habis-habisnya. Meutia mengganduli leher ayah erat-erat, meraba-raba telinganya, hidungnya, rambutnya, mencium kulit lehernya.

“Ayah,” sedunya, “mengapa ayah tak pulang-pulang. Mengapa…” Seseorang menyentakan ayah. Dan anak beranak itu jatuh bersama dengan Meutia di atas perut ayahnya.

“Irham! Kau telah melanggar peraturan penjara. Campakkan anak itu dan izin kerja luarmu kuusulkan dicabut!”

Perlahan-lahan ayah itu merenggangkan dirinya dari darah dagingnya sendiri. Meutia dengan ketakutan yang amat sangat mundur dan terus mundur, sampai ia tersandung akan beringin dan jatuh. Tapi tak seorangpun menolongnya berdiri. Aneh, anak itu menangis. Dengan wajah pucat ketakutan ia bangun lagi, membalik, lalu lari.

MEUTIA sudah duduk di kelas satu SD, ayah belum pulang juga. Benar ia tak pernah lewat di depan penjara lagi, benar ia tak pernah menanyakan ayahnya lagi, tapi itu tidak berarti ia telah melupakannya. Mulutnya diam, tapi matanya bertanya. Inilah yang membikin ibunya bersusah dan bersedih hati. Lebih baik anak itu meraung-raung, pikirnya daripada diam begitu, memendam sendiri seluruh keperihan hatinya, dengan mata yang menagih. Wajahnya pucat-pasi.

Jika Meutia berbaring di tempat tidur, matanya yang suram itu menatap langit-langit, tapi seperti tak melihat sesuatu di sana. Dan mata itu hanya awas terhadap suara langkah orang mendekat dan begitu orangnya tampak, mata itu merintih. Ini yang bukin hati ibunya seperti diremas-remas.

Suatu hari seorang Oom datang. Begitu melihat tampangnya, Meutia jatuh benci. Ia semakin membencinya ketika melihat cara orang itu menatap ibunya dan cara ibunya melayani orang itu. Pulangnya si Oom, memberinya uang, tapi Meutia Cuma menatapnya tanpa emosi. Lalu begitu saja ia pergi.

“Meutia!” seru ibu.

Tapi Meutia terus ngeloyor pergi seolah tak mendengarkan sesuatu. Untuk pertama kali ibu itu merasa hilang kewibawaannya.

Sementara ayah telah dipindahkan ke penjara lain sejak insiden itu. Barangkali sebagai hukuman akan kesalahannya melanggara peraturan penjara. Seseorang dari luar penjara tidak boleh begitu saja bertemu dengan orang-orang hukuman, tanpa mendapat izin  lebih dahulu dari petugas penjara. Belum tentu pelanggaran itu dilakukan orang hukuman, tapi yang pernah bersalah akan terus dianggap bersalah.

Tak seorang petugas penjara pun tahu ke mana pindahnya ayah. Ibu ingin langsung menanyakan kepada kepala penjara, tapi “Kepala terlalu sibuk” kata mereka. Terlalu besarkah kesalahan Irham, pikirnya, hingga bertemu dengan anak-istri sendiri tidak boleh? “Suami ibu membantu pelarian GAM, dan itu sama artinya menjadi anggota GAM,” jawab mereka. Atau setidak-tidaknya saya dapat mengetahui di mana ia berada? “Nanti setelah ia dibebaskan,” kata mereka lagi.

Hampir setahun kemudian suami dari seorang istri dan ayah dari seorang anak itu memang akhirnya pulang. Pulang dengan tandu dan sudah menjadi mayat. Agaknya kesedihan telah merenggutnya dari kehidupan. Ibu meraung-raung, tapi Meutia tidak. Ia Cuma menatap dengan air mata yang berlindang-linang. Dari mulutnya sepatah kata pun tak keluar, sebuah isak pun tidak. Utusan Kepala Penjara datang mengusap-usap kepalanya, tapi anak itu menepisnya. Matanya menatap dengan protes.

Sebenarnya hari sama sekali tak bersiap untuk menerima suasana duka cita. Udara terlalu cerah, matahari bersinar dengan garangnya, seakan hendak melelhkan bumi beserta isinya. Tapi bagi Meutia hari itu terlalu gelap. Ia bukan saja telah kehilangan ayahnya juga kehilangan dunia.

Hari-hari selanjutnya hari-hari tanpa makan bagi Meutia. Paling-paling sepotong roti, itu pun dengan enggan. Yang paling banyak adalah minum. Si Oom membelikannya susu, tapi yang diinginkannya cuma air putih. Tubuhnya semakin pucat dan semakin kurus. Biji matanya tetap hitam, tapi kehangatannya telah sirna. Dan pendiamnya sekarang seperti orang gagu. Dia Cuma bisa menggeleng dan mengangguk. Kalau ibunya bertanya, “Apa maumu Meutia, sayang?”, paling-paling ia hanya menjawab dengan sepotong kata: “ayah”. Dan ibu itu menjadi tersedu-sedu.

Setelah ayah Meutia diantar ke kuburan, si Oom tambah sering datang. Ibu tak kuasa menolak, karena di samping laki-laki itu hampir tak punya cacat (dan ia masih bujangan, katanya), ibu dan anaknya harus makan. Ibu itu memang benar-benar perempuan dapur. Selain memasak dan mengurus anak, ia tak bisa apa-apa. Kalu tidak dibantu si Oom, barangkali isi lemari pakaian sudah lama pindah ke tukang loak.

Yang membikin bingung ibunya, Meutia tak berujung tak berpangkal membenci si Oom. Taruhlah ketika ayah masih hidup hingga si Oom dapat dianggap saingan ayahnya, tapi sekarang? Bermacam-macam cara si Oom mencoba memikat anak itu, tapi Meutia tetap tak menyukainya. Setiap si Oom datang, Meutia mesti menyingkir. Kalau tidak ke rumah tetangga, tentu (hampir selamanya, kecuali malam-malam) ke kuburan ayahnya.

“Sejak ayah nggak ada, si Oom suka datang ke rumah,” ia mengadu kepada gundukan tanah yang menimbuni jasad ayahnya. “Meutia benci’, deh!” Kemudian air matanya berlinang, tak henti-hentinya berlinang.

Sang ibu mengetahui juga anaknya suka ke kuburan ayahnya, tapi ia tak kuasa melarang. Ia merasa anak itu sudah mulai menjauhinya. “Jangan-jangan Meutia sudah mulai membenciku”, keluhnya “Ya Tuhan”, ia memanjat doa, “cabutlah nyawa dari tubuhku, tapi jangan cabut cinta anak kandungku sendiri…”

Malam ia mencoba mendekati Meutia ketika mereka sudah berbaringan di tempat tidur. Ia mencoba berbicara dari hati ke hati.

“Meutia, yayang. Sayangkah engkau kepada ibu?”

Meutia diam, mata hitamnya menatap langit-langit.

“jawablah, Meutia. Oh…” Meutia mengangguk.
“Ibu mencintaimu, menyayangimu melebihi dari segala-galanya yang ada di dunia ini. Lebih baik ibu mati dari pada tidak mencintaimu dan tidak engkau cintai…”

Tiba-tiba Meutia membalik dan menerkam dada ibunya. Mereka berpelukan dengan eratnya, dan menangis dengan tersedan-sedan. Setelah mereda, ibu melanjutkan.

“Ibu mencintai ayah seperti juga engkau mencintainya… Tapi cinta tak usah ditunjukkan dengan wajah murung yang berlarut-larut. Ibu sekarang sangat rindu dengan kicaumu dulu. Ibu rindu akan mulutmu yang bijak dulu, yang tak henti-hentinya bertanya…”

Ibu menimbang-nimbang sekejap dua kejap. Lalu, “Ketika kita bertemu ayah pertama kali di pen…, di asrama itu, ayah berpesan agar menjagamu baik-baik, dan mendidikmu baik-baik. Itu hanya bisa kita lakukan bersama-sama, Meutia, aku dan engkau. Mengertikan engkau, yang?”

Anak itu diam mempermainkan lidah dalam mulutnya.

“Sekarang ayah sudah tiada… Kita tak dapat menunggunya lagi di dunia ini, kita hanya bisa bertemunya lagi di akhirat… Yang dapat kita lakukan, nak, mendoakannya. Mau pulang ke Aceh, kampung kita sudah dibakar orang, juga sekolah. Kita terpaksa bertahan di sini. Tapi seorang yang lain harus… - harus…”

Meutia menggelengkan wajahnya ke kiri. Yakni tempat ayahnya biasa berbaring dan bercanda dengannya menjelang tertidur, dahulu.

“…Bukankah – bukankah si Oom baik kepadamu, Meutia?”

Meutia tidak menjawab, bulu matanya yang hitam lentik itu dirapatkannya. Ia berbaring tak bergerak-gerak seakan-akan lelap.

“Oh, Meutia. Kalau dapat ibu tak kawin lagi. Sungguh, Nak! Tapi ibu tak dapat. Ibu tak dapat mencari uang sendiri. Itulah jeleknya jika perempuan itu bodoh… Kukira si Oom…”

Tiba-tiba Meutia membalikkan punggungnya, memantati ibunya

“Meutia benci!” serunya.
“Meutia, si Oom menyayangimu. Ia selalu menanyakanmu, keadaanmu…” Ibu masih berusaha membujuknya.
“Pokoknya, pokoknya benci! B-E-N-C-I!”
“meutia,” suara ibu jadi tinggi.

Meutia terisak-isak, dibenamkan mukanya ke bantal dan di sana air matanya membanjir. Ujung bantal digigit-gigitnya dengan geram. 

“kalau si Oom tinggal – tinggal bersama kita, Meutia  lebih baik pergi! Meutia lebih baik ikut ayah!”

IBU muda itu bingung. Menurutnya si Oom calon ayah tiri yang paling baik dan paling tepat untuk Meutia. Tapi entah mengapa anak itu membencinya tak tanggung-tanggung dan dengan alasan yang tak masuk akal. Sebenarnya ia ingin menjada saja demi Meutia. Tapi ia tak tahu bagaimana mencari uang. Dan lebih membingungkannya lagi, ia sudah termakan budi. Si Oom sudah berbuat segala-galanya untuk membantu mereka. Dialah yang membantu penguburan ayah, biaya dan pelaksanaannya. Dan biaya dapur sebelum dan sesudah ayah meninggal darimana kalau tidak dari si Oom?

Oleh karena itu ia tak dapat menolak kedatangan si Oom, walau ia tahu Meutia membencinya. Ia ingin menolak, tapi ia tak dapat. Jadinya ia bertambah bingung, ibu itu.

Sementara itu, tubuh Meutia boleh dibilang tinggal kulit dan tulang. Dua kali anak itu menderita. Batinnya, karena terus-menerus mengenang ayahnya. Jasmaninya, karena makannya enggan. Dan semakin rajin ia mengunjungi makam ayahnya, kadang-kadang dua kali sehari, pagi dan sore, terutama kalau hari libur. Pelajarannya jadi mundur. Meutia hari ini bukan lagi Meutia dahulu.

Ibu sudah menyerah apa kata nasib. Ia merasa sudah gagal sebagai seorang ibu, dalam hal ini ibu Meutia. Tapi perempuan itu masih mencoba berusaha, barangkali untuk akhir kalinya. Ketika suatu hari Meutia ke kuburan ayahnya lagi, ia mengikutinya di belakang. Siapa tahu di depan kuburan ayahnya, anak itu bisa diinsyafkan. Sesampai ia di sana ibu itu melihat anaknya menatapi makam ayahnya bagai tak berkedip. Wajahnya tanpa emosi, kecuali matanya yang bercerita banyak tentang penderitaannya, tentang rindu di dendamnya kepada ayahnya.

“Ayah, Meutia ingin ikut ayah. Bawalah Meutia…”

Ibu itu tak tahan. Niatnya mau membujuk Meutia di depan kuburan ayahnya urung. Ia lari memburu ke rumah dan di atas ranjang ia bergulat dengan tangisnya. “Tuhan”, ratapnya, “Siksalah aku, tapi jangan siksa anak itu. Kalau memang itu maksudMu, ambillah ia, jangan lagi Kau menyiksanya.”

Malamnya hujan turun teramat lebat, tak putus-putusnya sampai dini hari. Tengah malam Meutia masuk angin, dan dini hari ia menyusul ayahnya.

“Meutia, kapan kau berhenti bertanya?” Ibunya dulu sering berkata padanya. Sekarang, Meutia benar-benar sudah berhenti bertanya.

(Kepada Almarhumah Cut Azizah, kemenakanku)

2 comments:

  1. Akhirnya nemu juga cerpen karya penulis vaforit gue...thanks gan.

    ReplyDelete
  2. Makasi banyak udah berbagi, lumayan buat ngisi waktu kosong

    ReplyDelete

luvne.com ayeey.com cicicookies.com mbepp.com kumpulanrumusnya.com.com tipscantiknya.com